6.09.2011

Vandalis yang Kritis dan Eksotis


Tidak selamanya tindakan vandalis bersifat merusak atau menghancurkan, sebagian tindak vandalis justru bersifat mencipta. Graffiti misalnya, tembok jalan yang tadinya kosong dan terlihat pucat diubahnya menjadi satu galeri seni yang memicu pengendara motor atau mobil untuk sedikit mengarahkan matanya ke tembok-tembok yang telah dibanjiri karya seni cat semprot. Banyak jalan-jalan di Ibukota yang tiap temboknya disulap menjadi ruang rupa, dipenuhi dengan semburan cat semprot yang dikomposisi dengan bentuk, warna, dan volume yang teratur dan tertata rapi. Ini merupakan bukti, bahwa suatu tindakan yang tadinya bersifat vandalis bisa menjadi eksotis jika pengaplikasiannya teratur dan tertata dengan baik. Sebagian orang mungkin melihatnya sebagai suatu tindak perusakan, tetapi saya melihat graffiti disini sebagai suatu tindak penciptan karya seni yang mengekspresikan kehidupan sosial si pembuat graffiti itu sendiri. Selama graffiti itu tidak “nanggung”, saya bisa menghargainya sebagai suatu karya seni.
Setiap pembuat graffiti mempunyai tujuan dan kepentingan di dalam karyanya. Mereka tidak sembarangan mencoret-coret tembok, dalam setiap karyanya mereka menyuarakan isi hati dan “unek-unek” mereka atas setiap kejadian terkini di masyarakat, baik itu dalam masalah politik, pendidikan, ketidakadilan, ataupun untuk menunjukan eksistensi pribadi atau golongan. Karya-karya mereka cukup kritis dan “nyentil” tetapi tetap dalam balutan rupa yang eksotis. Saya ambil contoh Banksy, ia adalah aktivis politik, film director, sekaligus seniman jalanan. Di setiap karyanya ia selalu menyematkan harapannya tentang perdamaian dunia dan kritiknya terhadap ketidakadilan. Saya pikir, mereka para bomber lebih melihat jalan sebagai tempat menuangkan isi hati mereka, jauh dibanding sebagai sarana periklanan oleh billboard atau semacamnya. Saya setuju dengan pendapat mereka, karena dijalananlah kita bisa melihat mimik dari suatu bangsa.
Graffiti disini memang bukan tindakan yang legal, tetapi menurut saya selama si “bomber” mampu menempatkan karyanya dengan rapi, tembok-tembok yang tadinya terlihat miris bisa menjadi penuh warna nan eksotis. Tidak ada istilah legal atau illegal untuk suatu karya seni, seni adalah seni, segala sesuatu yang berhubungan dengan keindahan. Terlepas dari legal atau tidaknya, graffiti hanya masalah bagaimana kita mengapresiasinya.


gambar diambil dari sini

"Semua Bergerak, Untuk Sastra Indonesia"


Jauh di kepunahan, teror bom lewat buku, pengasingan dokumentasi sastra. Merupakan sebagian penyebab dari pudarnya sastra Indonesia. Mari selamatkan sastra Indonesia, karena sastra Indonesia merupakan momok penting dalam peradaban Indonesia. Buku berjudul “Semua Bergerak Untuk Sastra Indonesia”, merupakan aksi dari mereka yang peduli terhadap sastra Indonesia. Ada banyak cerpen, puisi, dan essai dari kalangan muda dan tua yang terkomposisi apik dalam buku tersebut. Dengan membeli buku tersebut, kita sekaligus menyelamatkan sastra Indonesia. Karena 100% royalti penulis dari hasil penjualan buku akan disumbangkan ke dokumentasi sastra PDS H.B. Jassin yang terancam ditutup karena kekurangan biaya. Menikmati bukunya sekaligus membantu sesama.

(untuk cara pemesanan buku, dapat dilihat di : sini)


gambar diambil dari sini

"Alay", Contoh Rasisme Masakini




“Eh baju lo alay banget sih” atau “eh gaya lo alay banget sih”, kata-kata tersebut pasti sudah sering kita dengar, terlontar dari manusia-manusia yang menganggap dirinya superior, melebihi manusia lainnya. Tanpa disadari, sebenarnya mereka sudah membentuk tingkatan dalam pergaulan, bersikap diskriminatif terhadap kebebasan manusia lain untuk berekspresi. Yang namanya bergaul ya seharusnya membaur, tidak perlu ada tingkatan-tingkatan.

Setiap orang berhak menunjukkan jati dirinya, baik itu dalam hal bermusik, gaya berpakaian, tata berbicara, sampai pengetikan pesan singkat. Sebagian orang berpendapat, mereka menyebut orang lain “Alay” karena cara bergaul si Alay itu mereka anggap salah. Menurut saya, salah atau tidaknya suatu pergaulan itu relatif, tidak mutlak ditentukan dengan satu gaya, toh dengan adanya beragam gaya justru pergaulan dan wawasan kita menjadi lebih kaya.

Siapa kira di suatu tempat kita memanggil orang lain “Alay”, tetapi di tempat lain malah kita yang dipanggil “Alay”. Nah, hal semacam ini yang saya bilang relatif, persepsi manusia tentang sebutan “Alay” berbeda-beda. Apapun persepsi manusia tentang “Alay” dampaknya akan buruk terhadap pluralitas di pergaulan sekitar, perpecahan kelompok tertentu, bahkan bisa jadi saling tinju.


gambar diambil dari sini

Dinamika Sarkas Di Jejaring Sosial

Seperti sudah kita ketahui sarkas atau sarkasme adalah kata-kata berisi ejekan atau cemoohan yang ditujukan untuk orang lain. Dan bagaimana ketika sarkas tersebut menguap ke jejaring sosial?

Baik, saya ambil contoh dari jejaring sosial seperti facebook dan twitter yang sekarang seperti sudah menjadi kebutuhan pokok bagi kalangan tertentu di masyarakat masa kini. Di kedua jejaring sosial yang semakin hari semakin banyak penggunanya itulah tempat dimana saya sering menemukan kata-kata sarkas bermunculan disana. Sarkas disini bermacam-macam, ada yang terdengar agak lucu kata-katanya, beberapa ada yang terasa pedas, beberapa lagi ada yang terlihat seperti kehabisan kata-kata, dan kemudian mengandalkan kata-kata sarkas untuk meng-‘update’ status mereka.

Yang namanya mengejek pastilah ada sasarannya. Karena di status jejaring sosial si pengejek seringkali tidak tercantum nama siapa yang menjadi sasaran, maka sebenarnya sarkas tersebut memiliki sasaran yang ‘random’. Bisa tertuju tepat ke sasaran, atau malah sarkas itu ‘mlengos’ ke hati orang-orang yang memang dasarnya mudah tersindir.

Yah, seperti pada prinsip dasarnya, jejaring sosial itu tujuannya untuk menambah jaringan hubungan sosial kita dengan orang lain. Jangan malah karna banyaknya sarkas yang padahal bersifat ‘random’ tersebut kita malah jadi orang yang perasa, dan mudah tersindir, yang akhirnya akan minder dalam kehidupan sosialnya. Anggap saja sarkas yang berserakan di dunia maya itu sebagai kritik, kritik yang membangun, jangan terlalu diambil pusing, apalagi sampai dimasukkan kedalam hati. Hidup itu santai, hanya pola pikir kita yang membuatnya rumit.

Gir Sepeda Itu Kembali Lagi Pada Porosnya


Tahun 1990-an adalah tahun dimana tawuran mulai marak. Mulai dari tawuran antar pelajar sampai tawuran antar kelompok sosial. Dalam tawuran biasanya senjata-senjata yang digunakan adalah seadanya. Batu, balok kayu, golok, dan gir sepeda senantiasa dalam kepalan tangan.

Dari berbagai senjata tersebut, saya tertarik untuk membahas tentang gir sepeda. Dalam tawuran biasanya gir sepeda itu berkamuflase menjadi kepala sabuk (gesper). Bila ingin digunakan, tinggal lepas gesper dari pinggang, genggam talinya, lalu ayunkan si gir sepeda tadi kearah musuh. Gir sepeda dengan mata yang tajam tersebut siap menghantam siapa saja yang menghadang.

Kebayang kan, bagaimana berbahayanya gir sepeda di jaman itu. Beranjak ke tahun 2000-an, sepertinya gir-gir mematikan itu sudah kembali lagi pada porosnya. Sekarang, saya lebih sering melihat orang-orang yang menggunakan gir sebagai alat transmisi di sepedanya, ketimbang menggunakannya sebagai senjata tawuran. Pola pikir manusia semakin hari semakin logis, manusia mulai menyadari yang namanya permasalahan tidak akan pernah bisa diselesaikan dengan adu fisik, yang ada malah timbul masalah baru. Nah, manusia-manusia yang sadar ini lah mulai menempatkan gir sepeda kembali pada porosnya. Komunitas bersepeda makin menjamur, sepeda seakan menjadi alat hubung antar berbagai kalangan. Adanya komunitas bersepeda disini sangat membantu pemerintah untuk menanggulangi masalah polusi yang ada. Orang-orang yang tadinya bepergian naik motor atau mobil, sekarang mulai beralih ke sepeda, dengan alasan lebih irit dan ramah lingkungan. Siapa coba yang mau menghisap asap knalpot? Tidak ada kan? Tapi saya sadari memang, untuk bepergian dengan jarak tempuh yang cukup jauh kita masih membutuhkan kendaraan bermotor.


gambar diambil dari sini

Sir Dandy; Dari Berguru, Jadi Guru


Siapa tidak kenal Sir Dandy Harrington? Siapa tidak kenal Sir Dandy Harrington? Sekali lagi, Siapa tidak kenal Sir Dandy Harrington? Banyak bukan? Ah, dia memang belum cukup terkenal, tapi dia patut untuk dikenal. Sir Dandy, seseorang yang memiliki suara serak-serak anggur merah ini adalah vokalis dari sebuah band bernama “Teenage Death Star”. Ia tidak begitu pandai bermain musik, tapi hasratnya begitu besar terhadap musik. Karena hasratnya yang cukup besar ini maka dia berguru untuk bisa memainkan alat musik bernama gitar. Dengan bermain solo (tanpa anggota TDS yang lain), ia mencoba menafsirkan berbagai kejadian sebagai suatu pelajaran yang mungkin akan berguna bila di bagikan ke orang lain.

Album solo pertama Sir Dandy yang bertajuk “Lesson #1” ini ibarat raport dari seorang murid berjenggot dan berkumis lebat, yang telah belajar selama 3 tahun untuk bisa memainkan gitar. Lagu-lagu dalam albumnya sangat jujur, terdengar realistis, bisa dibilang cukup kritis, dan dekat dengan kehidupan keseharian. Seperti lagu “Jakarta Motor City” yang didalamnya berisikan kelakuan pengendara motor ketika berada di keterburuan waktu. Singel “Juara Dunia” milik Sir Dandy, sekarang sedang mondar-mandir me-‘nyikat’ saluran-saluran radio. “Juara Dunia”, sebuah lagu yang bercerita tentang seorang Chris John, petinju kecil bermutu yang namanya sudah mendunia, dunia manusia maupun dunia hewan. Dalam setiap lagunya, bak seorang guru Sir Dandy selalu menyematkan serangkaian pesan yang mengajari kita untuk berbuat lebih baik (itu juga kalau anda mampu untuk melihat sisi baiknya). Pembawaan pesan yang agak ‘ngawur’, vokal yang ‘caur’, ritme yang tidak teratur, diharapkan bisa membangunkan orang-orang yang tertidur, dan lekas bekerja. Buat yang belum punya albumnya, buruan sikat! Sudah ada kok di toko-toko musik kesayangan anda.


gambar diambil dari sini

Naik-Naik Ke Puncak Flyover


Naik.. Naik.. Ke puncak flyoveeer.. Tinggi… Tinggi… Sekali…

Naik.. Naik.. Ke puncak flyoveeer.. Tinggi… Tinggi… Sekali…

Kiri.. Kanan.. Kulihat saja.. Banyaaak pohon cemara..a..aa Kini.. Mana.. Sudah tak ada.. Hilaaang ditebang semua…

Naik.. Naik.. Ke puncak flyoveeer.. Tinggi… Tinggi… Sekali…

Naik.. Naik.. Ke puncak flyoveeer.. Tinggi… Tinggi… Sekali…

Kiri.. Kanan.. Kulihat saja.. Banyaaak pohon sengsara..a..aa Kiri.. Kanan.. Kulihat saja.. Jadiii beton semuaaaa….

(silahkan dinyanyikan dengan nada sama seperti lagu “Naik-naik Ke Puncak Gunung” agar efeknya lebih terasa).


gambar diambil dari http://www.google.co.id/imgres?q=pembangunan+fly+over+di+jakarta&hl=id&biw=1024&bih=662&tbm=isch&tbnid=k4TilZOzjrhtGM:&imgrefurl=http://id.ibtimes.com/articles/2886/20101019/flyover-kemayoran-renggang-dki-akan-segera-perbaiki.htm&docid=Ek4fzrOfPoGBnM&w=400&h=257&ei=ZSlZTo3lKMqyrAf2kLDACg&zoom=1

Waspadai Petugas SPBU Nakal Yang Suka 'Ngeluarin' Angin

Selalu perhatikan keran bensin (biarkan saya menyebutnya begitu) ketika petugas memasukkannya ke dalam tangki bensin. Karena, sebagian petugas nakal memasukan keran ini jauh ke dalam tangki agar bensin yang dialirkan tidak bisa terlihat. Nah, dengan posisi keran seperti inilah tindak kecurangan lebih mudah dilakukan. Di posisi keran seperti tadi, biasanya petugas-petugas nakal menekan pelatuk kerannya hanya setengah, tidak sepenuhnya. Jadi, bensin tidak akan dialiri ke keran. Namun penunjuk digital tetap menunjukkan bensin itu keluar, tentunya sesuai nominal uang yang kita berikan.

Di kejadian seperti itu yang keluar dari keran bukanlah bensin, melainkan angin. Tekanan angin yang keluar, tetap terbaca oleh penunjuk angka digital sebagai bensin, bukan angin.

Nah, jadi kalau anda merasa telah mengisi bensin, tapi jarum penunjuk jumlah bensin tetap pada posisi semula sebelum tangki diisi, itu artinya anda kurang teliti, dan tertipu petugas SPBU nakal. (saya juga pernah sih ketipu sama petugas nakal itu)

* Tips ini saya dapat dari teman saya. Teman saya dapat tips ini dari supir angkot. Biar ugal-ugalan ternyata supir angkot itu sebenarnya baik budiman.

Teori Penciptaan Manusia Dalam Tanda Tanya Manusia

Pertanyaan ini muncul di suatu malam, ketika saya dan teman-teman sedang berdiskusi (ngobrol lah lebih tepatnya). Sebuah pertanyaan yang menunjukkan seberapa besar manusia ingin tahu proses penciptaan dirinya.

Teori Darwin, mengatakan bahwa manusia berasal dari kera yang berevolusi. Tapi saya tidak begitu saja mentah-mentah untuk mempercayainya. Bagaimana tidak? Penjelasan keagamaan mengatakan manusia diciptakan Tuhan dari tanah, yang kemudian Ia menghembuskan nyawa ke dalamnya, lalu terciptalah Adam.

Pokok pertanyaan sebenarnya ada ketika Adam diciptakan. Kalau ia manusia pertama, apakah dia melewati zaman prasejarah? Lalu bagaimana nasib-nasib para kera di zaman itu selanjutnya? Menyatukan agama dan sains memang sulit. Berdekatan namun tidak bisa sebenar-benarnya bersenyawa.

Ketika Tuhan menciptakan Adam, Ia tidak mungkin menghidupkan Adam dalam kesendirian. Ia mengambil tulang rusuk Adam untuk menciptakan seorang pendamping untuk Adam, maka jadilah Hawa. Disini muncul pertanyaan baru di benak saya. Makhluk hidup akan berkembang biak untuk meneruskan keturunannya, begitu juga dengan Adam dan Hawa. Mungkinkah anak-anak dari mereka mengawini sesama saudaranya? Jika dijelaskan bahwa Adam dan Hawa adalah pasangan yang pertama ada.

Anda bingung? Saya apalagi. Menikmati kebingungan ini sama saja meragukan ciptaan Tuhan. Dan teruslah nikmati kebingungan itu jika anda memang tidak mempercayai adanya Tuhan. Di dunia ini ada hal-hal (seperti rahasia) yang memang harus diungkap, namun ada hal-hal lain yang akan lebih baik jika itu tetap menjadi rahasia. Biarkan saya mengutip kata-kata Kahlil Gibran, “Kebenaran yang memerlukan bukti hanyalah separo kebenaran”.